Monday, February 13, 2017

Jangan Diet di Semarang! (Part 2)


Tadaaa... Perjalanan hari ke dua di Semarang siap berlanjut. Hal pertama yang kudu dilakukan adalah mandi. Buat kamu pecinta disko, pas banget kalau nginap di hotel inapan kami yaitu Ibis Budget Semarang. Nggak cuma menawarkan jaminan bersih saat mandi *yaeyalah*, shower kamar mandinya ada lampunya dan bisa berubah-ubah warna, lho. Saat air dingin yang dinyalakan, lampunya warna hijau. Tapi begitu airnya di-setting ke panas, lampunya jadi warna biru. Beuh! This shower-lamp is so swag! Harusnya nama hotelnya ganti aja, jadi Ibis Budget Disco Semarang. Tetep bisa disko mesti budget terbatas. Halah...
Percaya, kannnn....
Tujuan pertama hari ini adalah Klenteng Sam Poo Kong. Membaca dari beberapa blog, katanya lokasinya agak jauh. Mending naik taxi saja, ongkosnya nggak mahal kok, sekitar Rp.20rb. Ternyata betul. Kalau jalan kaki, timbunan sarapan tadi di hotel bisa berkurang banyak. Nggak terlalu lama, kami sudah sampai di klenteng ini. Tulisan segede-gede gaban *walaupun gaban itu aslinya nggak gede* siap menyambut kami. Kalau nggak salah, ada tiket masuk yang harus dibayar. Tapi aku lupa-lupa ingat sih, ada atau nggak. Kami pun segera masuk dan berfoto-foto ria di dalamnya.
 



 

Menurut sejarah, klenteng Sam Po Kong adalah bekas tempat pendaratan pertama Laksamana Tiongkok bernama Cheng Ho di daratan Jawa. Lebih akurat lagi, bila baca di sini.

Catatan penting:
Di bagian belakang tempat kami foto-foto, ada satu section lagi yang agak menjorok ke bawah. Nah, kami sempat mau masuk ke situ. Katanya sih, bedanya bagian ini dengan bagian depan adalah bagian belakang ini untuk sembahyang. Tapi, ada harga tiket masuk lagi yang harus dibayar. Kami sih, nggak jadi masuk. Terlepas dari kami pun sepertinya nggak akan sembahyang di sana, pandangan subjektif saya adalah agak aneh ya, sembahyang kok dimintai uang. Kalau di sana ada kotak dana yang uangnya digunakan untuk membiayai daily operational, lain lagi ceritanya. Tapi ini dimintai sebagai harga tiket masuk. Sekali lagi, ini adalah pandangan subjektif saya, dan saya nggak mau berpikir negatif terlalu lama. Makanya, kami pun memilih untuk melipir keluar. Tapi kalau ada yang fine-fine saja dengan hal tersebut, sok atuh.. Manggaa...

Matahari mulai terik, kami pun makin lapar. *sebenernya kalau soal lapar, kami nggak tergantung pada jam, cuaca, maupun musim, sih.* Kami pun manggil taxi dan menuju Toko Oen di Jl. Pemuda No. 52. Sesampainya di sana, Ocha langsung kegirangan dengan nuansa toko ini yang old skool namun tetap terjaga kelestariannya. Banyak foto jadul terpampang di sekeliling ruangan, yang bikin kami menebak-nebak bahwa merekalah generasi awal pendiri toko kue dan makanan fusion Belanda-Chinese-Indonesia.

Ingat dengan perut yang keroncongan, menu Bistik Lidah yang jadi rekomendasi sejuta blogger pun kami pesan. Ocha yang asyik bernostalgia dengan makanan Belanda pun memesan Huzarensla, yaitu salad daging khas Belanda. Selain itu, kami juga memesan Poffertjes sebagai side dish. Hasilnya, perut gue rasanya kek mo jatoh!
Kumpulan Santapan Siang
Kelar makan, tancap gas! Ke Lumpia Mbak Lien. Hahaha. Makan lagi! Lokasinya nggak jauh, bisa ditempuh dengan jalan kaki, sambil menurunkan isi perut. Posisinya di dalam gang. Yang jualan kokoh-kokoh berlogat Jawa lebih kental dari yang bukan kokoh-kokoh. Cuma pake etalage secuprit. "Di depan ada rumah makannya, kok. Kalau mau makan di sana, juga bisa," kata kokoh itu. Kami pun coba mengintip rumah makannya. Ternyata cukup besar. Nggak terbatas pada lumpia, mereka juga menjual nasi dan lauk. Bahkan, mereka berusaha menjadi one-stop-shopping-place dengan turut menjual bandeng Juwana yang menjadi oleh-oleh khas kota ini. Kami pun cuma lihat-lihat, nggak makan. Lebih ke malu sih, karena baru aja dari Toko Oen. Masa makan lagi?!

Beli 1 lumpia goreng aja dari si kokoh, soalnya saya penasaran kayak apa rasanya. Well, basically lumpia berisi sayur-sayuran dan potongan daging yang digoreng, lalu tersedia saus kental manis sebagai cocolan. Buat saya pribadi sih, ini bukan makanan favorit saya karena lidah saya nggak bisa nyambung dengan saus kental manis itu. Tapi kalau nggak pake sausnya, jadinya lumpia biasa aja, ya. Tapi saya nggak suka, gimana dongg... Sudahlah, cepat habiskan! Saking cepetnya ngabisin, nggak saya foto ;(((

Abis ini, beneran jalan-jalan lagi, kok. Ke area Kota Lama. Mengunjungi Gereja Blenduk. Gereja ini sebenarnya masih aktif, tapi waktu kami ke sana, sepertinya jam kebaktian sudah selesai makanya sudah tutup. Menurut beberapa web yang saya kunjungi, blenduk artinya kubah. Soalnya, bagian atas gereja ini berbentuk kubah dengan warna merah terracotta. Katanya juga, gereja ini adalah gereja Kristen tertua di Jawa Tengah.

Difoto dari seberang jalan. Nebeng dari depan Gd. Asuransi Jiwasraya
Berjalan menelusuri Kota Lama, tentunya sambil browsing ada apa lagi di area ini. Kami menemukan beberapa spot seperti Stasiun Tawang, Polder Air Tawang, dan Gedung Pabrik Rokok Praoe Lajar. Tapi karena kepanasan, kami hanya memandanginya saja sambil jalan-jalan keliling sambil mendapat seruan, "Ada mbak turis. Hello, good morning!" oleh beberapa ibu dan anaknya yang mengira kami bukan produk lokal. Karena iseng, saya pun jawab sambil senyum, "Bukan, tapi good afternoon," yang dibalas dengan kaget dan tawa oleh mereka.
Cuma berhasil foto ini
Karena puanasssss banget, kami sempat berteduh di salah satu cafe, namanya cafe Spiegel Bar & Bistro. Keinginan kami tentu yang dingin-dingin ajahhh.. Mata saya langsung tertuju ke gelato. Seharga 25rb bisa mix 2 rasa. Sedangkan Ocha pesen minuman bernama Caipiranha. Doi emang waktu itu abis dinas ke Brazil. Trus dapet minuman unik beginian. Pas nemu, tentunya girang kembali. Rasanya asem unik segar. Pas untuk cuaca yang sedang hot-hotnya kayak Pilkada 2017. Eitss.. Nggak lupa untuk foto di depan cafe ini, yaitu foto yang jadi penyapa postingan kali ini. Akreditasi diberikan kepada bapak satpam cafe ini yang pintar mencari angle.
Selesai nge-charge diri, kami menelusuri jalan lagi hingga menemukan 1 klenteng lagi. Nggak terlalu yakin sih, apakah ini Klenteng Tay Kak Sie atau bukan karena saya lupa. Yang saya ingat, waktu itu sedang ada permainan wayang Po Te Hi (wayang Cina) di sana. Saya baru pertama kali menontonnya secara live. Keliling-keliling klenteng, kami duduk lagi di sana. Sempat jalan ke Semawis sih, yang katanya sepanjang jalan menjual makanan saat sore-malam. Tapi sepertinya kami terlalu cepat sampenya. Jadi, abangnya bahkan baru angkat ketek buat memasang tenda. Alhasil, kami kembali ke area Simpang Lima aja karena list tujuan kami sudah habissss... Kali ini sudah lebih pintar cari makanan karena punya pengalaman kemarin *sombong*

O iya, oleh-oleh nggak ketinggalan. Kami beli bandeng dan sejumlah cemilan di Bandeng Juwana Elrina di Jl. Pandanaran No.57. Nggak lupa, kami juga ke Toko Kue Opium Brownies di Jl. Gajahmada No. 88. Lokasinya di ruko kecil, tepat di sebelah Veneta Isi ulang Printer dan JNE. Toko kue ini sebenernya milik temen mama daku. Jadi semacam kami ke sana pun untuk menjalankan titah dari mamak. Tapi terlepas dari itu, kue-kuenya memang enak. Kami juga pernah pesan untuk dipaketkan dari Semarang ke Jakarta. Jagoannya tentu brownies panggang. Tapi, aku juga suka oat cookies dan kue-kue lainnya. *promosi*

Beban makin berat, kami pulang naik taxi. Beruntung, kami dapat taxi yang driver-nya mau mengantarkan kami berkeliling ke sana-sini. Pengin ke Nasi Goreng Pak Karmin dan Soto Pak No, dua-duanya tutup. Syedihhhh... Kami pun direkomendasikan ke Nasi Ayam Bu Wido. Beuh, mantap! Lanjut diantarkan lagi ke Sate Ayam Pak HM Hasan. Busyet! Keknya nih bapak juga tukang makan kali, ye. Tahu banget makanan endolita gini. Tempat makannya lesehan di pinggir jalan. Sepanjang jalan, semuanya jualan sate. Tinggal dipilih deh, yang mana yang disuka. Si sate ayam ini ternyata lokasinya nggak jauh dari Toko Oen.
Nasi Ayam Bu Wido

Sate Ayam Pak HM Hasan
Kelar menyantap segudang sajian, kami minta ampuunnnn.. Pulangkan kami yang perutnya pada udah kek hamil ini. Setelah memberikan ucapan terima kasih, doa bertubi-tubi, dan tips ke bapak driver Blue Bird yang baik hati ini, kami pun dipulangkan ke Ibis Budget Disco Semarang buat disco lagi dan zzzz...

Sebagian foto: Fransiska Soraya (Ocha)

Kelewatan Part 1-nya? Jangan syediihh.. Klik di sini.

Sunday, February 12, 2017

Jangan Diet di Semarang! (Part 1)

Holaaa!!!! I'm back! *lalu ditimpukin se-RT karena sering banget mengucap kata ini, juga karena sering banget mangkir dari blog ini* Okeh! Setelah penulisan blog ini mangkrak sejuta tahun, akhirnya saya berencana dalam hati untuk kembali melanjutkan blog ini sebagai diary atau jurnal traveling saya. Karena selama jalan-jalan, saya sering banget foto, baik itu pake kamera pocket maupun HP. Tapi ternyata ga banyak yang saya post juga sih, di instagram. Entah itu lupa, ataupun kurang kece-kece amat buat feed saya *cihh gaya.. Padahal mah feeds gue juga ga bagus-bagus amat hahaha* Maka karena itu, daripada saya merasa rugi, saya putuskan untuk memasukkan foto-foto jepretan saya tersebut ke blog ini saja, deh.

So, di pertengahan tahun 2016 lalu tepatnya 13-17 Agustus 2016 saya mengadakan perjalanan ke Semarang dan Solo bersama seorang rekan kerja, teman sekaligus sahabat saya, Ocha. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya sih, kami traveling berdua. Tahun-tahun lalu, kami juga pernah Malaysia, Singapore, Bandung, hanya berdua. Well, saya sih, lebih suka traveling dengan jumlah peserta yang kecil. Sebelum dengan Ocha, saya pernah traveling berdua dengan sahabat saya waktu masih ngampus, Yuan, ke beberapa tempat seperti Jogja-Bali, Singapore dan Bangkok. Dari sanalah, saya meyakinkan diri bahwa lebih enak traveling dalam jumlah kecil, dibandingkan jumlah besar, kecuali bersama keluarga. Mungkin, di postingan selanjutnya, saya akan menulis plus minus traveling jumlah kecil. Ha!

Dimulai dengan perjalanan hari pertama di 13 Agustus 2016. Kami berangkat menggunakan Lion Air dari Jakarta ke Semarang. Yang ini saya agak egois sih, karena pengin lebih cepat sampai dan cepat melakukan perjalanan. Soalnya, Ocha pengin naik kereta, katanya sih, lebih seru. Tapi, maapkan keegoisan aku yang kurang bisa menikmati definisi seru berkereta. Hehehe...

Bukan Lion Air namanya kalau ga delay yes. Grr! Dengan delay sekitar 1-2 jam *lupak!*, kami baru sampai Semarang sekitar jam makan siang. Nahhh! Entah perasaan gue aja atau bukan, gue merasa diketok! Sebagai turis yang kurang paham, kami memutuskan untuk naik taxi untuk menuju Hotel yaitu Ibis Budget Semarang di Jl. Kapten Pierre Tendean No. 21. Pikiran gue, area bandara Semarang mungkin segede Cengkareng yang bisa dijadiin lapangan marathon. Semacem pengkor kan ye, kalau keluar area bandara kalau ga naik taxi. Mana bawa-bawa koper lagi, nih. Lalu, kami pun memesan taxi di loket, bayar langsung sehingga nanti tinggal tancap gas saja. Ga bayar ke abangnya lagi. Pas di loket, katanya harganya 50 rebu. Semacem shock sih. Emang hotel gue jauh banget ya? Apa gue salah pilih hotel ya, pilihnya yang di ujung berung sono?

Ahh... Berangkat dulu aja, lha. Nggak sampe 20 menit, gue uda nyampe boy! Buset! Kayaknya mah, ini ga sampe 50 rebu ya, Mba! Pikir gue sambil mengumpat dalam hati karena ke-Tiongkok-an gue keluar. Sudahlah. Marah-marah juga ga bikin duit gue dikembaliin sama pak sopirnya, wong gue bayarnya bukan ke doi. Lagipula, perut ini juga sudah lapar.

Kelar check in, kami langsung cari makan yang sejalan dengan arah kami ke Lawang Sewu. Menemukan Bakmi Jowo Pak Doel Noemani di Jl. Pemuda No.107. Terlihat tempat makannya belum komersil karena harganya terjangkau banget, men! Aku pesen mie godog, Ocha pesen nasi godog. Ditambah sate ayam, kalau nggak salah, harganya sekitar Rp.20rb-an berdua. Buset! Harga yang nggak saya dapatkan kalau di ibukota *caelah*

Ini dia penghangat perutnya!
Perut kenyang, siap jalan! Melihat kami masih disapa matahari, berjalanlah kami ke Lawang Sewu. Kan, males ya kalau ke sononya gelap-gelapan. zzzzz. Tiket masuknya Rp.10 ribu per orang. Seperti biasa, ada tawaran dari guide setempat untuk menemani. Karena saya terbiasa mengeksplor sendiri, maka terpaksa saya tolak. Keliling-keliling, saya menemukan banyak hal. Mulai dari pengetahuan bahwa gedung ini sebenarnya museum kereta api, asal usul nama lawang sewu yang artinya seribu pintu, lokasi bawah tanah untuk orang-orang yang senang adrenalinnya terpacu, spot yang Instagrammable, sampe gaya sesama turis yang mengundang banyak tanda tanya di kepala saya.


Sisi Samping

Hadap depan

Gambar-gambar di kaca di gedung bagian dalam

Miniatur kereta

Difoto dengan sudut sok asyik, dan hasilnya lumayan creepy

Spot Instagrammable

Dari lantai atas. Di lokasi ini, anginnya sepoi-sepoi cihuy

Maksa wefie walau backlight

Kurang-kurangin lah, Mas.
Dekat dengan Lawang Sewu, ada Gereja Katolik yaitu Gereja Santa Perawan Maria Ratu Rosario Suci. Kami pun menyempatkan diri ke sana untuk mohon ampun sebelum (mungkin) kembali nyinyirin orang lagi, seperti kejadian di atas. Pas dateng, agak dilihatin sejuta umat sih, karena gue pake celana pendek. Yaeyalah. Wong, ga ada rencana ke gereja di list kami. Cuma yaudahlah ya, yang penting kan, ibadah.
Kelar ibadah, kami lapaarr... Karena berencana makan malam beneran, akhirnya ngemil 1 bakpao berdua di depan gereja. *ngemil kok bakpao, neng?* Isi campur yaitu berbagai macam daging dan telur, sekitar 20 ribu. Di luar rasa enak karena terangsang lapar, rasanya memang pure enak. Asyek!

Dari sana, kami lanjut jalan-jalan ke area Simpang Lima. Tujuannya apa lagi, kalau bukan... makan, yok!

Menemukan taman unyu bernama Taman Pandanaran. Lumayan lha, banyak yang pacaran murah di sana. cieee

Kami pun mencari makan malam. Ocha pesan Nasi Gandul yaitu nasi dengan daging sapi dan disiram kuah semur, sedangkan saya pesan Tahu Gimbal. Kami kira macem tahu gejrot, ya. Bisa dijadikan snack di kala perut sudah setengah terisi tapi lidah masih gatel. Ternyata pas makanannya dateng, kami pun tak henti-hentinya menyebut nama Tuhan dalam hati dan ucapan, karena porsinya gede. Isinya telur dadar, lontong, tahu goreng, lupa ada toge atau ga, kerupuk, lalu disiram saus kacang. Makannya sampe minta ampun! Ibaratnya, abis makan nasi padang, trus disediakan cemilan berupa nasi tumpeng.
Nasi Gandul

Penampakan Tahu Gimbal, sang 'cemilan'
Tips saat cari makan di Simpang Lima:
Meski area ini dikenal dengan makanan yang murah meriah, lebih baik tahan dulu lapar dan kalapmu dan cek harga-harga dulu dengan kios-kios sekitar. Untungnya, kami agak berjalan menelusuri sebagian besar area Simpang Lima ini. (Maapkan aku lupa agak lupa direction-nya). Area yang kiosnya banyak kelap-kelip lampu, ini area yang menyajikan makanan dengan harga di atas ekspektasi. Sebaliknya, di simpang satu lagi yang tidak bergemerlapan lampu, makanannya murce alias murah. Inilah tempat kami membeli tahu gimbal.

Selama di Simpang Lima ini, kami juga sempat mencoba makanan yang sangat direkomendasikan yaitu Soto Kudus Mbak Lin. Lokasinya di bagian simpangan yang ada Rumah Sakit Semarang Medical Center Telogorejo. Nggak jauh dari sono, kok. Di deretan seberangnya. Seperti tebakan pemirsa, murah. Sekitar Rp.7-9rb per mangkoknya. Rasanya enak dan mantap!
Soto Kudus Mba Lin

Satu hal yang menarik perhatian saya. Ternyata orang-orang di Jawa itu ketika makan soto, nasinya dicampur ke dalam mangkok sotonya. Bukan dipisah seperti kebiasaan saya dan orang-orang Jakarta. Jadi ketika sotonya dateng, gue malah celingak celinguk nyari nasinya. Ada woy! Noh di depan mata.

Capek berjalan, kami pun naik Go-Jek buat pulang dan bobok! Lelah hayatiii...

Sebagian Foto: Fransiska Soraya (Ocha)

Baca lanjutannya di Jangan Diet di Semarang! (Part 2) yaa...

Monday, July 15, 2013

Cory took the midnight train going anywhere

Yap, I'm officially a worker. Jakarta worker. Dan itu berarti kaki gue selalu terasa pegal banget begitu tiap kali nyentuh kasur. Kira-kira sama keadaannya seperti sekarang (banget).
Dan setelah baru aktif (lagi), blog ini kayaknya memang on-off fungsinya sebagai 'tempat sampah' deh. Sebenernya saya uda bukan anak abegeh yang butuh tempat curhat, yang malah pilih curhatnya di ruang publik kayak gini. I'm a professional. Trus, ini gue ngapain donk namanya kalo bukan curhat? Hmm.. iseng plus prihatian aja melihat nasib blog yang dulu gue buat dgn sepenuh hati.

Saya lagi sedih. Cory Monteith meninggal. Saya memang bukan his hard-core fans. Tapi saya Gleeks. Yang bikin shocked nya adalah ga ada yang ngira kalo yang meninggal itu beneran dia. Ga ada yang percaya, dan ga ada yang mau percaya. He's just way too young to go. Umur 31, man!

Saya ga pernah bisa tenang kalo ada yang meninggal, dan almarhum tersebut adalah orang yang saya kenal (at least, tahu). Selalu ada air mata yang berhasil keluar setiap kali berdiri di depan peti mati, bahkan ketika momen milik ayah dari teman kuliah (yang sebenernya juga ga deket banget).

Semua itu terasa seperti ada bagian yang hilang dari dalam diri saya. Hilang dan ga bisa diraih lagi. Karena itu pula, saya merasa takut. Takut ga lagi bisa memegang bagian yang pernah ada dalam hidup saya. Takut ga ada yang jawab ketika saya panggil namanya. Takut menyadari kenyataan bahwa dia ga bakal kembali lagi.

Saya bingung. Bingung, kenangan-kenangan manis itu harus diapakan. Saya ga mau mengganti kenangan lama yang terlampau manis itu dengan memori baru. Tapi saya juga harus menjalani hidup. Maka itu, saya bingung.

Kenapa kematian itu selalu menyakitkan?


Thursday, January 10, 2013

I Just Don't Like It Somehow

Terlalu egois ga sih, kalau alasan terhadap sesuatu 'cuma' karena "I just don't like it somehow" ?
Dan terlalu simple ga sih?


Ada banyak kesempatan manis yang g tolak mentah-mentah (well, utk sekarang ini, masih g pikirkan dan belum officially g tolak) dan g lewatkan begitu saja.
Ada kesempatan melanjutkan bekerja sebagai staff resmi di tempat magang terdahulu. Ada pula kesempatan untuk belajar bahasa asing di negeri tetangga. Gue belum memberikan lampu hijau ataupun lampu apapun kepada para penerima hak jawaban itu. Masalahnya, untuk dua hal yang g sebutkan di atas, the real and truly reason i have is: I just don't like it somehow. Tunggu dulu, gue bukan ga suka dengan ide besarnya (bekerja dan kuliah), tapi yang g ga sreg adalah materi atau subjectnya.

Banyak pihak di luar gue yang cukup gue hormati, memberikan berbagai respon dan jawaban yang sangat bijak. Baik itu menyarankan gue untuk menerima, tapi banyak juga yang setelah mendengar curhatan gue, malah menyarankan gue untuk bertanya ke dalam diri gue sendiri apa yang paling gue inginkan. Dan mereka (yang terakhir disebutkan) cukup menyemangati gue untuk mengejar apa yang ada di hati gue. "Masalah nantinya ternyata lo suka ato ga, at least rasa kepuasan lo terpenuhi dan lu uda ga bakal penasaran lagi. Dan ketika lo uda melakukan apa yang paling lu inginkan pas idealisme lo selangit, (walaupun misalnya elo emang ga cocok) ga bakal ada penyesalan macem 'kenapa gue ga coba pas dulu'," katanya.

Holy sugar! Gue bener-bener pusing sekarang. Gue diberikan banyak kesempatan ketika gue dalam keadaan tidak siap. Gue baru ngerasain betapa besar gesekan yang terjadi ketika akan memasuki dunia baru kayak gini.

Klise ga sih, kalau g bilang gue ga suka? Let me give an example. Gue ga bisa dan ga mau banget untuk berenang. Sampe suatu kali, gue akhirnya menuruti keinginan orang terdekat gue untuk belajar berenang. Alhasil, seluruh perlengkapan renang gue beli, mulai dari baju, kacamata, topi, dll. Dan itu semua ga murah lho, cong! Dan ternyata apa? Begitu nyemplung ke kolam buat latihan dengan trainernya, gue cuma les satu kali. Abis itu gue kabur, bukan krn gue ga bisa (ya emang ga bisa sih) tapi juga karena gue ga punya niatan sama sekali untuk mau bisa berenang. Sekarang, nasib tu semua peralatan gue anggurin di lemari, tuh.

Jadi sekarang kalau dikasih kesempatan untuk belajar di luar, tapi dengan subject yang gue unlike, gue harus gimana? Gue bisa aja defense dengan orang tua gue tentang alasan gue, tapi haruskah gue menghancurkan apa yang dulu pernah mereka kejar?

Friday, December 28, 2012

Cerita Desember

Seiring dengan bertambahnya usia, gue rasa blog ini sudah beralih fungsi. Dari sebelumnya sebagai tempat curhat (bisa dibaca: tempat sampah) karena ga ada org secara real time yang bisa dengerin spontaneous mind di depan gue, kini blog yang usianya kurang lebih dua tahun ini sudah jadi catatan-catatan kecil yang menyimpan pahit manisnya bagian hidup gue.

Ya berhubung sibuk, cape, dan lupanya gue meng-update blog ini, jadinya jurnal maya ini jadi sering keteteran. Yaudalahya.. Dari pada gue berbawel ria dengan prolog yang ga jelas ini, mending langsung mulai aja update-an pertama (berasa kayak host program TV)

Sekarang, tepatnya di tahun 2012, gue sudah memasuki tahun terakhir kuliah. Yang berarti, sudah lepas dari jadwal ujian yang bisa meluluhlantakkan jadwal liburan. Ya, karena kalau tahun terakhir kan tinggal sidang proposal dan sidang skripsi. Jadi, goodbye to ujian TV presenter lah, ujian komunikasi massa lah, dan ujian-ujian lainnya. Gawatnya ya juga itu. Karena cuma ada dua ujian besar dengan sistem gugur. Kalo gue ga lewat, ya gugurlah bunga di taman #amitamit #ketokkayu

Dan di tahun terakhir ini pula, gue memasuki masa magang. Dan Puji Tuhan, gue diterima di majalah remaja pertama kesayangan kalian. Apalagi kalau bukaannnnnn..... GADIS!!!! Berikan tepuk tangan yang paling meriah untuk GADIS!!!
Kenapa perlu tepuk tangan? Ya memang karena anak-anak yang kerja di sono asik-asik. Ga memandang sebelah mata anak magang. Bayangin aja, di hari kedua gue magang, gue uda dipercaya untuk nulis tentang salah satu seleb dengan space satu halaman. Bahkan di hari ketiga, gue uda disuruh langsung liputan, dan sendiri, tanpa ngekor sapa pun. Yang lebih mengejutkan lagi adalah, semua orang di sono, baik senior maupun junior, dipanggil 'kakak'. Bahkan gue pun termasuk dalam sebutan itu. Alhasil, waktu makan siang, salah satu rekan manggil, "Kak, kuliahnya dimana?" dan gue karena ga berasa dipanggil, tetap nyendokin potongan ayam ke mulut. Setelah disenggol, gue baru ngeh.

Trus, ternyata kerja di sini ga beda jauh dengan kerjaan gue waktu di kampus. Sama-sama liputan dengan cara yang sama, sama-sama nyelonong seenak jidat maju ke depan deket narasumber buat ambil foto, dan sama-sama nulis artikel. Jadi gue ga terlalu susah adaptasinya. Ya bedanya, kalau di kampus, jadwal acaranya yang nggak ada matinya; kalau di GADIS, deadline-nya membabi buta. zzz...

Dan ga berasa periode 3 bulan magang itu akan segera berakhir dalam waktu hitungan jari. Kenangan-kenangan yang lucu, manis, mengejutkan, dan menegangkan sudah cukup banyak yang terjadi. Mulai dari denger kabar salah satu senior jadi juara lomba makan dengan hadiah iPhone, seru-seruan pesta kostum pas Halloween, ambil bagian di GSFR 2012, lahiran bayi salah satu senior, sampai berita duka cita yang datang dari keluarga senior yang cukup akrab dengan gue.


Semua memori itu bisa tetep dilanjutkan kok, dengan kontrak yang lebih mengikat tentunya. Cuma gue nya aja yang masih butuh waktu untuk berpikir akankah mengikatkan diri dengan teman-teman yang keterlaluan manisnya ini. Ya, ada plus minus nya lah ya. OK. Gue ga bikin post ini untuk ngomogin kerjaan.

Oiya, berhubung di bulan terakhir dalam siklus satu tahun, entah mengapa, sejujurnya gue serasa mati rasa melewati Natal kali ini. Ya walaupun hidup gue ga lurus banget, setidaknya gue masih bisa terbawa euphoria Natal yang dibangun oleh orang-orang Amerika itu. Tapi kali ini, bener-bener ga merasakan apa-apa. Bahkan ketika gue duduk manis mendengarkan khotbah 3 jam secara seksama di gereja sekalipun. Ga sedih, ga seneng, ga mellow, ga sok-sok romantis. Ya pokoknya, flat abis. (Berdasarkan karangan yang baru saja terlintas di kepala gue) Mungkin aja udah waktunya kali ya, gue harus mendefinisikan Natal sesuai dengan yang seharusnya, bukan seperti definisi toko-toko yang memberi potongan harga ataupun definisi dari mall-mall yang memutar lagu slow Natal, yang dalam sekejab bisa memunculkan perasaan mellow.

Akhirnya, lumayan lah. Suasana Natal itu akhirnya mampir juga di diri gue ketika gue ikut konser klasik yang diadain sama gereja gue. Gila. Itu konser sih menguji iman banget, lho. Bukan cuma isi konsernya, tapi lebih karena sore sebelum jam konser itu dimulai, hujan sedashyat-dashyatnya terjadi di seluruh penjuru Jakarta. Gedenyaaa naujubilla. Itu uda kayak air laut ditumpahin. Sempat terbesit di kepala, "Yaudalah direlain aja itu harga tiketnya, daripada susah pergi susah pulang. Apalagi si Johan (temen tebengan) kagak bawa mobil juga. Jadi perginya pake taxi pula." Ditambah dengan nyokap n bokap yang mewanti-wanti buat gue mengurungkan niat buat pergi. Ahh.. Tiba-tiba gue kepikiran isi khotbah pendeta gue pas kebaktian Natal di hari sebelumnya yang ngomongin soal kesempatan. Kira-kira beliau ngomong begini, "Waktu lampau adalah milik setan. Waktu yang akan datang adalah milik Tuhan. Waktu sekarang adalah kesempatan yang Tuhan berikan kepada kamu, dengan anugrah, supaya kamu bisa menjalaninya. Saya selalu menangkap kesempatan yang Tuhan berikan. Dan Puji Tuhan, hingga umur 73 seperti sekarang, bisa dibilang tidak ada satupun keputusan yang saya buat adalah salah." Nah lho! Itu berarti gue harus berangkat ke konser, kan? Ya, kan?

Paling bener, setidaknya gue mandi dulu lah. Urusan nanti hujannya reda ato ga, liat nanti lagi. Tapi alhamdulilah Puji Tuhan, gue berangkat dan mendapatkan secercah suasana Natal di konser itu. Oiya, anway, ini adalah konser terakhir dimana gue bisa mendapatkan harga mahasiswa. Karena, mulai tahun depan, gue uda 22 dan harga yang berlaku adalah harga umum! :( Huaaaa... kembalikan masa mudakuuuu..........

Oiya, Puji Tuhan juga, sedikit demi sedikit gue uda bisa mengungkapkan kemana perginya gue selama Natal ini tanpa ditutup-tutupi dan perasaan takut, terutama ke nyokap dan kakak gue. Mereka bisa menerima 'tiba-tiba' lurusnya salah satu anggota keluarga mereka. Semoga keterbukaan ini bisa makin menjalar, sampe gue bisa berani terbuka (lagi) soal kelurusan gue ke bokap. Amin.